--
0

Tangga Cahaya…
DI mataku, bumi dan langit dihubungkan dengan begitu banyak tangga. Hanya tangga, terbuat dari -entah apa bahannya– namun, sesuai dengan pengetahuanku, rasanya, mirip cahaya. Ya, cahaya. Agar mudah otakmu menerima gambaran yang kuberikan, maka, mungkin aku menyebutnya seperti cahaya neon (meskipun, menurutku, itu masih jauh dari apa yang kusaksikan ini).

Untuk mudahnya, maka kuberi nama saja itu tangga cahaya neon. Hanya saja, jika lampu neon itu menggunakan tabung, ini tidak. Hanya cahaya saja berpendar indah, berwarna-warni. Sungguh, seandainya saja kau bisa menyaksikannya, maka kau akan berjingkrak-jingkrak, atau malah terbengong-bengong, karena matamu menyaksikan pemandangan menakjubkan. Mungkin yang paling menakjubkan sejak kau mampu menikmati dunia ini.

Tetapi, sebentar, Kawan. Aku tak punya kekuatan yang mungkin bisa sedikit membantu orang lain, termasuk dirimu, untuk melihat apa yang kusaksikan. Jangankan kekuatan yang kuberikan, sedangkan aku sendiri saja tak tahu apakah ini sebuah kekuatan atau keanehan.

***

Sebentar, sebelum terlalu jauh aku meracau soal tangga ini, ada baiknya kau tahu sedikit ihwal semua ini.

Awalnya, seingatku, aku sakit keras. Mula-mula panas dan dingin menyerangku habis-habisan. Istriku mengira aku kena DB, lalu ketika dibawa ke dokter, dokter mengatakan gejala tipus. Lantas, ada seorang kawan membelikanku vermint, kapsul cacing tanah yang dikeringkan. Sembuh. Maksudku sejak kutelan obat itu, panasku berangsur-angsur turun, nafsu makanku meningkat, kemudian berkeringat dan tubuhku segar kembali.

Akan tetapi, baru kusadari beberapa saat kemudian, ada yang berubah dengan mataku; maksudku, pandanganku. Saat itu, aku dikunjungi Haji Beni, sahabatku. Dia berkunjung karena mendengar aku sakit panas. Dia orang baik, sangat baik, malah. Aku menjulukinya dengan sebutan saudara kembarnya Mas Danarto, yang seniman itu. Julukanku beralasan karena, baik gestur, wajah, maupun tutur sapanya, beda-beda tipis dengan Mas Danarto. Ketika kujuluki demikian, Beni tertawa saja, karena dia sendiri tidak kenal dengan Mas Danarto. Dia hanya berkomentar bahwa dia senang disamakan dengan seniman; dan bukan koruptor. Ah, Haji Beni…

Ketika mengunjungiku, waktu itu, wajahnya agak pucat. ”Capek, kurang tidur,” begitu jawabnya ketika kutanya. Namun, yang membuatku ternganga adalah kilasan-kilasan cahaya putih berpendar-pendar di atas kepalanya. Semula aku mengira lantaran mataku memang masih sulit menerima cahaya siang yang menyilaukan. Tetapi, karena cahaya di atas kepala Haji Beni hanya menggelimang dan membentuk sesuatu, aku jadi mulai percaya bahwa mataku melihat sesuatu.

Seminggu sejak kunjungannya, Haji Beni meninggal. Aku takziah di pagi hari itu. Ketika kira-kira 50 meter dari rumahnya, aku tertegun. Kusaksikan sebuah tangga cahaya bersinar lebih putih dan lebih berkilau daripada cahaya matahari, memancar dari atap rumah Haji Beni, lurus menembus awan dan… aku tak tahu di mana tangga itu berakhir. Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di sana sempat menyaksikan kecanggunganku, lalu menggamitku menuju jenazah Haji Beni dibaringkan. Aku duduk di samping jenazah sahabatku sambil memanjatkan doa. Dia orang baik. Wajah, dan sekujur tubuhnya memancarkan cahaya, dan rupanya dari situlah tangga cahaya yang kusaksikan di luar tadi itu, bermula.

***

Sejak itu, aku jadi sering menyaksikan tangga-tangga cahaya. Dan sejak saat itu, manakala aku melihat ada kelebatan-kelebatan cahaya di atas kepala seseorang, maka bisa kupastikan, tak lama lagi orang tersebut akan dipanggil Tuhan.

Maaf, bukan maksudku menakut-nakutimu. Sama sekali tidak. Dan pengetahuan semacam ini bisa kuperoleh, juga bukan karena mauku, apalagi cita-citaku. Untuk apa? Aku tiba-tiba diberi kemampuan melihat sesuatu yang biasanya tak kasat mata, dan aku tak mampu menolaknya. Entahlah, aku sendiri sering menyesal mengapa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain. Karena sejak pertama kali kukisahkan penglihatanku ini kepada orang lain, tidak satu pun yang percaya. Kalau kau pun tak percaya, aku paham sepenuhnya.

***

Seperti kataku tadi, bumi dan langit di mataku memang dihubungkan dengan begitu banyak tangga cahaya, cahaya neon tanpa tabung. Bersembulan, timbul tenggelam, berpendaran siang malam, mengantarkan orang-orang baik kembali kepada Tuhan. Sungguh, ketika kupandangi itu semua, tak terasa air mataku meleleh. Keangkuhanku cair oleh keagungan luar biasa yang dipertunjukkan Tuhan kepadaku. Hanya saja, aku tak bisa begitu saja mengatakan dan menggambarkannya kepada siapa pun. Aku hanya bisa menunjukkan beberapa bagian saja, yang mungkin memiliki ”kata” sebagai wakilnya. Dan ”kata”’, sungguh bukan sesuatu yang benar-benar mampu mewakilinya, aku tahu itu.

***

Suatu kali, entah berapa waktu silam, aku diminta untuk datang ke rumah seseorang.

”Untuk apa, ya?”

”Begini. Saya hanya diminta untuk menjemput Bapak, soal ada kepentingan apa, saya tidak tahu,” ucapnya dingin, tetapi memaksa itu.

Kupandangi beberapa saat beberapa laki-laki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.

”Tapi… malam-malam begini?”

”Ini penting, maaf, saya hanya diperintah begitu.”

Hmm.. kata ”diperintah” ini yang membuatku gelisah. Aku paling tidak menyukai manusia yang hanya menjalankan perintah, tanpa tahu maksud tindakannya.

Dan beberapa saat kemudian, mataku menangkap kilatan-kilatan cahaya merah, seperti cahaya laser pointer, berkitar-kitar gelisah di atas kepala para lelaki itu.

Wajah mereka pun kelihatan menegang. Mungkinkah cahaya itu menandakan akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan, bahkan membahayakan mereka jika ”perintah” itu gagal dilaksanakan?

Dugaanku benar. Ketika aku sudah berada di rumah si ”pemerintah” yang minta ampun besar dan luasnya itu, kilatan-kilatan laser di kepala manusia karang itu lenyap. Bahkan yang tadi berkata dingin dan agak memaksa kepadaku itu, kini dengan keramahan yang kaku menawariku mau minum apa.

”Saya dengar Anda bisa meramalkan kematian?” begitu ucapan berat si pemilik rumah besar itu, begitu para lelaki karang itu meninggalkan ruangan.

”Yang bilang begitu siapa, Pak?”

”Lho, jadi untuk apa saya undang Anda malam ini…”

”Yaa… maaf, Pak. Izinkan saya pulang, kalau begitu.”

”Hahahaha…nanti dulu, sabar, saya bercanda, kok, hahahahaha…”

Kusaksikan seorang Farao merentangkan tangannya, menunggu tundukan kepala budak-budaknya. Aku tak tahu mengapa langkahku sampai di istana Firaun ini?

”Begini. Yang saya dengar, Anda bisa melihat tanda-tanda kematian seseorang. Betul?”

”Bapak mendengar dari siapa?”

”Tak ada asap jika tak ada api.”

Aku terdiam. Apa maunya? Dan karena aku terdiam, dia kemudian mulai berceloteh tentang hidup dan mati menurut keyakinannya. Aku sendiri tak yakin soal apa yang disebutnya keyakinan itu. Aku hanya melihat manusia gunung karang yang merasa sudah mampu menyundul awan karena ketinggiannya. Aku pun mulai diserang rasa mual, mendengar bualan manusia ini.

”Anda pernah mendengar Wahyu Cakraningrat, kan?”

Kutatap saja wajahnya yang di mataku kian tampak tolol itu. Kisah pewayangan itu tentu saja kuhafal luar kepala, karena aku sering nonton wayang kulit di masa kecilku.

”Siapa yang mendapatkan wahyu itu, kok, saya lupa.. Mmm…siapa, siapa?” tanyanya sambil memejamkan mata sementara jari-jarinya menjentik-jentik ke arahku, memaksaku ikut berpikir.

”Abimanyu, anak Arjuna…’

”Yaaaa… Tapi itu di wayang, di zaman kita ini, Anda tahu kepada siapa?” ucapnya setengah berbisik dan mimiknya penuh kebanggaan.

Kau tahu jawaban yang diharapkannya muncul dari bibirku, kan? Mungkin jika kau ada di sana malam itu, tinjumu akan melayang ke wajahnya yang dungu itu.

”Tapi Abimanyu mati dengan tubuh terajam anak panah,” jawabku dingin.

Dia terdiam, mungkin tak menyangka bahwa kata-kata itulah yang muncul dari bibirku.

”Jadi, Anda memang bisa meramalkan kematian seseorang. Jadi…” setelah agak lama dia terdiam, ”seperti itukah kematian saya?”

Sungguh, aku berada di puncak mualku. Kepalaku berkunang-kunang, lantaran mendengar bualan terbesar yang pernah kudengar selama hidupku.

”Pak, saya tidak pernah bisa meramalkan kematian seseorang…”

”Bagaimana jika saya merencanakan membunuh seseorang, apakah Anda bisa melihat tanda-tanda kematian orang itu?”

”Pak, maaf, saya lelah. Saya minta izin pulang. Maaf.”

”Bukankah kematian memiliki tanda-tanda, sebagaimana sebuah kelahiran… Hah? hahahahahaaa…Dan dengan mengetahui tanda-tandanya, bukankah kita bisa memindahkan, bahkan menolak kematian itu, hah? Bagaimana? Hahahahahaha…”

***

Bulan Desember, angin mendesau-desau, terkadang membawa hujan bercampur panas. Seringkali pula panas berhujan deras. Di sebuah siaran televisi kusaksikan sebuah perkampungan dengan sekelompok orang, mungkin seratus jiwa, tengah gelisah. Mereka mempersenjatai diri dengan apa saja yang mereka punya. Rumah mereka akan digusur. Menurut berita, mereka sebetulnya penduduk liar yang menempati kawasan milik seseorang. Lahan seluas puluhan hektare milik seorang manusia? Di sisi lain, ratusan atau bahkan ribuan orang yang tak punya segenggam pun tanah? Mengapa ini yang kusaksikan?

Dan demi kusaksikan di televisi, siapa si pemilik lahan, mendadak mualku bangkit lagi. Nyaris aku muntah di ruangan. Gelak tawanya seakan kembali terdengar di antara wawancara yang menggebu-gebu, soal hak dan kewajiban, soal keadilan dan entah apalagi. Segera kuraih remote.

Tetapi, sesaat sebelum remote kutekan dan mencari saluran lain, mataku menangkap sesuatu.

Di kepala mereka, manusia yang tengah gelisah itu, ah… kilatan cahaya berwarna-warni mulai berpendar-pendar. Berkilauan cahaya-cahaya itu mengitari kepala mereka masing-masing, bahkan di atas kepala seorang bayi yang tengah menyusu.

Air mataku tak terbendung lagi. Kusaksikan langit malam yang terang benderang oleh tangga-tangga cahaya, meliuk-liuk lurus menuju langit, indah, agung, mempesona, memukau, menyihirku.

***

Sudahlah, di mataku, saat ini, bumi dan langit dihubungkan oleh tangga-tangga cahaya. Tangga cahaya yang mengantarkan jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada sang Maha Pencipta. ***

--
0


MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.

Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh berhenti.

Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.

Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.

”Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.

Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan listrik ribuan voltase itu.

”Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar aku ganggu?”

”Pesan apa?”

”Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”

”Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur.”

”Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera.”

”Betul, memang begitu.”

”Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan sakit.”

”Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan berarti apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah menebarkan api di langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan memusnahkan kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus rela dikorbankan.”

”Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk mati?”

”Untuk merdeka.”

”Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi, kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan.”

”Kenapa?”

”Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat. Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”

Setan mengulurkan sebuah cek.

”Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi dengan satu syarat.”

”Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”

”O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri. Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada sekarang.”

Aku tercengang.

”Menembak ke dalam diriku sendiri?”

”Ke samping dan ke belakang juga.”

”Tapi, itu bunuh diri.”

”Bukan. Itu pembersihan rohani!”

”Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”

”Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”

Aku terkejut.

”Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.”

Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku. Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit sukma sehingga aku ringsek total.

Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan yang belum pernah kualami.

Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya, apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.

Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.

Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga aku menempelkan telingaku untuk mendengar.

Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya, lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku disisihkan supaya katut menang, karena setan sudah memilih.

Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa, tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.

Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di tahun 2010. Terima kasih Tuhan!

Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan. Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar, gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!

Lalu aku dengar setan tertawa.

Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan. Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.

Setan tertawa ngakak.

Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.

”Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”

Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.

”Apa? Coba ulangi!”

Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata. Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung ke hulu hatiku. Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar berembus masuk mencuci pikiranku yang sumpek.

Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh dengan harapan. Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja merasukiku. Itu pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat horison menjadi berbeda. Luas, tak terbatas, dan siap untuk ditempuh sekali lagi. Luar biasa!

Aku tatap anakku dengan kagum.

”Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”

Taksu membuka HP.

”Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”

”Waduh, hebat sekali dia!”

”Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”

”Pemimpin Afrika Selatan itu?”

”Betul!”

”Wah, wah, wah! Hebat!”

”Yang hebat Nelson Mandela!”

”Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar biasa, dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia sekarang yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan berangasan!”

Taksu ketawa mengejek.

”Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi langit. Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus biji dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan. Kita memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-kata yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!”

Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson Mandela sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan lapang dada.

”Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.

Seperti aku harapkan, dia berhenti.

”Mengerti apa?”

”Apa sejatinya makna kemerdekaan.”

”Apa?”

”Bebas.”

”Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu? Makanya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

”Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”

”Apa?”

”Melupakan!”

Istriku terkejut.

”Melupakan? Masak?”

”Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson Mandela sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari Afrika Selatan itu mampu bertahan disekap puluhan tahun di penjara, padahal usianya sudah uzur, sehingga ketika dibebaskan dia masih sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama Afrika Selatan!”

Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.

”Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”

Dewi, istriku, manggut-manggut.

”Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”

”Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”

”Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling depan kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!”

Istriku termenung.

”Jadi Bapak setuju pada Mandela?”

”Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi. Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun rasanya sekarang enak!”

”Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”

”Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”

”Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”

”Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka, bebas, sehat, dan waras!”

Dewi menganguk-angguk.

”Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak disosialisasikan! Ini ibadah!”

Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan arif-bijaksana itu.

Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang. Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan, sepakat menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka citra baru tentang apa itu merdeka.

Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan beduk tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan aku terkejut.

Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.

”Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah makan tempe-tahu dan ikan asin, Masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel lelenya?”

Istriku cepat datang.

”Kenapa Pak?”

”Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan minta pecel lele?”

”Ya!”

”Mana?”

”Tapi?”

”Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!”

”Ya Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang …”

”Pecel lele!”

”Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong, bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!”

Aku tertegun.

”Aku bilang begitu?”

”Ya, Bapak bilang begitu!”

Aku terhenyak.

”Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!”

Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.

”Bener nikmat?”

Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.

”Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena memang sudah lama betul belum dikembalikan.”

”Tidak bisa!”

”Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”

”Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu, setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”

Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.

”Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaa. Tapi seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka!” ***