--
0

Mmmm.... pagi itu Peni bangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak menentu. Perasaan seseorang yang menantikan kepastian dari kelanjutan kisah untuk mengakhiri pencarian cintanya. Entahlah, yang jelas, sampai sekarang masih teringat sedemikian rupa bagaimana kisah itu berawal dan berjalan.

Tiba-tiba hanphone Peni berdering saat dia siap-siap berangkat kerja pagi itu. Rupanya telepon yang baru diterimanya itu adalah dari sahabat abang kandungnya, Rio yang baru sampai dari luar kota. Rio ingin bertemu Peni, karena ada suatu keperluan dan pertemuan itu dan itu direncanakan di salah satu tempat penyeberangan.
Memang, sebelumnya pun mereka sudah janjian untuk bertemu, dan sekalian Rio ingin nginap di rumah Peni. Tetapi dalam percakapan di telepon ituPeni mengatakan tidak bisa menjemput.

“Aduh, Peni tidak bisa jemput, ini sedang buru-buru mau berangkat kerja,” kata Peni.
“Saya maunya Peni yang jemput,” jawab Rio dari ujung sana.
Peni bingung harus gimana lagi, karena sudah terkejar waktu. Tetapi akhirnya ditemani Mamanya Peni menjemput Rio juga, apalagi secara kebetulan kendaraan umum sedang mogok beroperasi.

Peni dan Mamanya bergegas berangkat. Setiba di tujuan, dengan pede Peni menyapa cowok bertopi yang diyakininya adalah Rio.
“Rio ya,” sapa Peni.
“Peni ya,” balas Rio.
“Iya, aku Peni,” jawabnya.

“Peni membawa Mama ya? Tapi katanya sendiri saja,” tanya Rio spontan. Peni memberi alasan mengapa dia membawa Mamanya, dan syukurlah alasan itu diterima Rio.
Karena jam kerja sudah menunjukkan pukul 8.30, Peni langsung pergi ke tempatnya kerjnya, sedangkan Rio pulang ke rumah Peni bersama Mama Peni.
Setiba di tempat kerja henphone Peni bergetar, ternyata SMS dari Rio yang katanya “kenapa Peni bohong, Rio kan jadi gak enak dengan mama Peni”.

SMS itu Peni balas, “itu untuk kebaikan Rio juga, soalnya kendaraan umum kan mogok, kalau tidak dijemput dengan Mama, bagaimana tahu Rio ke rumah”. Dengan waktu yang tidak lama balasan dari Rio pun diterimanya lagi. “Iya dech, Rio maapin asal gak boleh bohong lagi ya?” Peni pun kembali membalasnya “Sip boss,”.

Dengan pertemuan singkat itu, hampir tidak berhenti henphone Peni bergetar. Bermacam-macam pertanyaan datang dari Rio, yang nyuruh cepat pulanglah, katanya rumah Peni sepilah dan sebagainya. Padahal di rumah Peni setiap hari ramai, Peni jadi heran.

Seharian itu Peni pandai-pandai mencari waktu selah untuk membalas SMS dari Rio, sampai-sampai dia jadi tidak fokus lagi berkerja.

Setiba di rumah, Peni tidak langsung ngomong, karena pada saat itu Rio lagi asik-asik cerita dengan keluarga Peni. Karena itu Peni langsung main ke depan rumah. Eh tiba-tiba Mama Peni memanggil, katanya ada perlu.

Ketika mau melangkah menghampiri Mamanya, hanphone Peni berdering ternyata telepon itu dari teman dekat Peni. Selama Peni menerima telpon dari temannya itu, tidak hentinya Rio memperhatikan Peni dengan tatapan yang panjang. Peni merasa tidak enak.
Di saat Peni mau beranjak tidur, banyak sifat-sifat Rio yang aneh. Minta kupaskan buah-buahan, minta ditemani cerita dan lainnya, padahal mereka baru kenal.

Pada pagi harinya, mulailah Peni dan Rio berbincang-bincang di teras rumah. Dari perbincangan itu Peni sangat kagum dengan sosok Rio. Karena bergitu banyak pengalamannya, itu terutama disaat dia menjabat sebagai presiden BEM di kampusnya. Hampir seluruh organisasi dan kegiatan digelutinya.

Melihat dari tingkah dan omongan Rio waktu itu, Peni berpikir, hal itu dilakukan Rio ke Peni hanya sebatas antara abang dengan adik saja.

Tepat perpisahan sekolah Peni sehari setelah itu, Rio juga ikut hadir, kebetulan Rio adalah alumni dari sekolah itu juga. Ada suatu kejadian yang membuat Peni tercengang melihat sifat Rio waktu itu. Kenapa tidak, henphone milik Peni dipengang Rio dan isinya habis diperikasa. Kini hampir tidak pernah Peni pegang hanphone itu lagi.

Setiap Peni berbicara ataupun dekat dengan teman-teman cowok, Rio risih, ada saja kata-kata Rio pada saat itu yang seolah-olah Rio adalah pacar Peni, padahal Peni sudah menjelaskan bahwa tidak ada hubungan apa-apa, kecuali hanya sebatas teman dan sahabat.

Setiba di rumah, Peni mulai menanggapi serius sifat Rio yang baru beberapa hari dikenalnya. Malam itu juga Peni dan Rio pergi keluar, di sepanjang jalan kata-kata Rio mulai menujukkan secara tidak langsung tentang perasaannya, Peni bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.

Tiba-tiba di hati Peni mengatakan kalau dia juga merasa perasaan yang sama, tapi Peni mendapat informasi dari abang kandungnya, kalau Rio sudah punya pacar, karena itu Peni tidak mau hal itu sampai Rio tahu. Sampai di rumah tidak ada hasil apa-apa dari semua pertanyaan Rio, karena Peni hanya diam saja.
Peni langsung menuju ke kamar, Peni termenung. “Apa yang harus aku lakukan?”, bisik Peni dalam hati.

Dia bingung, karena pada saat itu Peni sudah menjalin hubungan cinta dengan teman cowoknya. Tetapi setelah beberapa kali berbincang dengan Rio, hatinya luluh, terutama dikarenakan sifat Rio yang ramah tamah, sangat perhatian dan tampil apa adanya. Sebab itu dia berpikir, jawaban dari pertanyaan Rio harus segera disampaikan, karena menurutnya lebih cepat adalah lebih baik, apalagi Rio masih berada di tempatnya.

Henphonenya yang sebelumnya dipegang Rio, diambilnya. Peni pun mulai menuliskan SMS untuk menjawab semua pertanyaan Rio. Setelah membaca SMS dari Peni itu, Rio tidak membalasnya malah Rio langsung menghampiri Peni yang duduk di ruang tamu.
“Kenapa baru sekarang Peni jawab,” tanya Rio kepada Peni yang duduk di sebelahnya.
“Aku tidak mau mengacaukan suasana perjalanan kita. Peni lakukan ini, karena Rio sudah punya pacar kan?” jawab Peni.

“Kenapa Rio bersikap seperti ini ke Peni?” tambah Peni.
Barulah Rio menceritakan permasalahan yang terjadi. Menurut Rio, dia dan pacarnya saat ini tidak bisa disatukan lagi, karena faktor satu suku, palagi saat ini mereka sudah lama tidak bertemu dan berkomunikasi. Rio pun men ganggap hubungan mereka sudah berakhir.

Mendengarkan cerita Rio yang panjang lebar malam itu, satu kesimpulan diambil Peni, yakni menerima cinta Rio.

Hubungan Rio dan Peni pun terjalin. Rio dan Peni berencana akan memantapkan menjalin asmara mereka dengan saling percaya dan sering berkomunikasi meski dengan jarak jauh.***

No Response to "Biarlah Waktu Bicara"

Posting Komentar