--
0

Pagi ini aku memulai hariku dengan semangat yang membara. Aku mulai menikmati hidup yang diberikan tuhan untukku. Hidup yang indah, penuh dengan takdir yang selalu memihak padaku. Sejak umur 9 tahun, aku ditakdirkan tidak bisa bicara. Tapi itu bukanlah sebuah hambatan untuk menikmati hidup. Apalagi aku hidup di tengah orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.

Layang-layang yang indah mulai beterbangan di atas atap rumahku. Menjadikan langit ini begitu berwarna. Pengalaman yang pahit membuatku tidak begitu suka untuk memainkannya. Aku lebih suka melihatnya dari jauh. Jauh dari keramaian. Hening memang memaksaku untuk lebih nyaman bersamanya. Karena setiap hari aku hidup dalam keheningan.

“shennya, jangan terus pandangi layang-layang itu ! cepat antar makanan ini.”

Yang berbicara tadi adalah pamanku. Aku sudah lama tinggal bersamanya. Sejak ayah pergi, ibu dan aku dihidupi oleh paman kacang. Paman kacang adalah kakak ibuku. Dia sangat baik pada aku dan ibu. Paman kacang gagal dalam berumah tangga. Dia bercerai dengan istrinya dalam perkawinannya yang baru berumur tiga tahun. Dia dikaruniai anak laki-laki yang selalu membuatnya kesal. Tapi aku yakin, meskipun paman kacang sering memarahi kak juno tapi sebenarnya paman sangat menyayanginya. Dia hanya belum bisa terima atas takdir yang diberikan tuhan untuknya.

Sudah beberapa hari ini ibu sakit. Mungkin ibu sakit karena terlalu lelah bekerja. Oleh karena itu aku menggantikan pekerjaannya sampai ibu sehat lagi. Ibu bekerja mengantar kacang telur yang dibuat oleh paman kacang. Kali ini aku yang harus mengantarnya ke pasar menggantikan ibu.

Setelah mengantar kacang, aku pergi jalan-jalan sendirian. Biasanya aku selalu ditemani ibu atau kak Juno. Ibu sakit dan kak Juno sudah pergi sejak pagi-pagi sekali.

Aku berlari dan berlari. Entah aku akan pergi kemana. Aku mengikuti kata hatiku. Aku tidak pernah sesenang ini. Hatiku seakan-akan bebas pergi mengudara. Mencari tempat hening yang membuat suasana hatiku lebih baik lagi. Tiba-tiba aku berhenti di suatu tempat yang membuat hatiku nyaman. Aku memeriksa kesana kemari untuk memastikan tidak ada orang lain.

Tempat ini sebenarnya indah, hanya saja tidak terawat. Tempat ini berada di belakang sebuah apartemen mewah. Sungguh tidak sebanding bila melihat sebuah gubuk yang lusuh ini dengan apartemen depannya yang bagaikan istana. Aku masuk ke dalam gubuk ini. Aku melihat ada sebuah tempat tidur, macam-macam buku cerita dan sebuah catatan kecil. Aku membuka catatan itu dan aku sadar, bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang telah menemukan tempat istimewa ini.

Aku tidak bisa tidur malam ini. Aku terus memikirkan seseorang yang meninggalkan beberapa barangnya di gubuk lusuh seperti itu. Siapa dia? Mengapa dia melakukan itu? Apa dia juga terbiasa hidup dalam keheningan sepertiku? Rasa ingin tahuku membuncah. Tiba-tiba aku punya ide untuk memperbaiki gubuk itu. Aku akan menanam beberapa tanaman agar gubuk itu terlihat lebih bewarna.

Keesokan harinnya,

Hari ini ibu sudah baikan dan dia yang akan pergi mengantar kacang. Aku pergi ke gubuk itu dan segera menanam tanaman yang sudah aku beli. Aku juga membersihkan bagian dalamnya agar tidak terlalu kotor. Setelah selesai, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Seorang anak laki-laki yang berpakaian mewah masuk dengan wajah yang terlihat marah. Dia melihatku dengan tatapan marah, kesal tapi juga bingung. Dia menyambar buku yang aku pegang. Entah kenapa ketika aku melihat matanya, dia juga senang ada seseorang yang sama seperti dirinya. Dia pergi begitu saja dan meninggalkan aku yang masih bingung karena tingkahnya.

Aku tahu aku yang salah. Aku membenahi gubuk itu tanpa bilang dulu padanya. Mungkin sebaiknya aku tidak akan pergi kesana lagi. Aku sedikit menyesal karena telah menghabiskan banyak uang untuk membenahi gubuk itu. Tapi ya sudahlah, menyesal juga sia-sia. Uang itu juga tidak akan kembali lagi.

Hari ini, besok dan seterusnya aku tidak mencoba kembali ke gubuk lusuh itu. Aku tahu dia tidak ingin bertemu denganku. Aku mencoba melupakan kejadian kemarin. Walaupun sebenarnya aku masih berharap aku dapat kembali ke gubuk itu.

Pagi ini aku sengaja bangun lebih pagi untuk membantu paman kacang. Tapi aku tidak bisa menemukan seorang pun di rumah. Aku mencari kesana kemari. Firasatku berkata buruk. Aku berlari ke pasar. Tapi aku juga tidak bisa menemukan mereka.

“hey shennya, ada apa dengan ibumu? Kenapa kau disini? Bukankah ibumu pingsan?

Pingsan? Ibu dimana ? aku tidak bisa menemukan siapapun di rumahku. Tulisku

“Mungkin mereka pergi ke rumah sakit. Jangan kau susul mereka! Tunggu saja di rumahku…”

Aku pergi meninggalkannya yang masih berteriak kesal karena omongannya tidak aku hiraukan. Aku berlari menuju rumah sakit yang biasanya dikunjungi ibu. Kepalaku pening, mataku panas. Aku ingin menangis. Kenapa paman kacang dan kak Juno tega? Kenapa mereka tidak membangunkanku? Aku yakin di saat seperti ini ibu akan sangat membutuhkanku.

Sesampainya disana, aku bertemu dengan kak Juno. Kak Juno menangis. Hatiku berdetak kencang, tanganku berkeringat. Apa yang telah terjadi pada ibuku? Ya tuhan lindungi ibu.

Apa yang terjadi?

“Ibumu terkena serangan jantung. Dia sekarang ada di..”

Aku berlari. Aku terus berlari meninggalkan rumah sakit itu. Kakiku tidak membawaku pergi ke tempat ibu berada. Entah kenapa, aku marah pada tuhan. Kenapa kali ini tuhan tidak memihakku. Aku berusaha menerima karunia yang tuhan beri padaku. Aku bisa terima bila aku tidak bisa mendengar suaraku selamanya. Aku bisa terima bila wanita lain telah merebut ayah dariku dan ibu. Tapi aku tidak terima jika tuhan juga mengambil ibu. Hanya ibu yang selama ini menjadi malaikat penentram hatiku.

***
Pagi ini ibu dimakamkan. Aku mungkin marah, sedih dan lelah. Tapi aku berusaha tegar dan meneruskan hidup seperti biasa. Aku sadar tidak selamanya takdir membuat kita bahagia sesaat. Aku yakin ini adalah jalan terbaik untuk aku atau ibu. Tuhan selalu tahu yang terbaik. Dia akan memberikan takdir sesuai dengan kemampuan hambanya.

Aku sadar akan semua ini. Tuhan memang selalu memberikan yang terbaik untuk hambanya. Mungkin aku berlebihan, tapi aku merasa tuhan telah mengirimkan Gino sebagai pengganti ibu. Gino adalah anak laki-laki yang bertemu singkat denganku. Kemarin aku pergi ke gubuk itu. Beberapa hari tidak pergi kesana, aku melihat banyak perubahan di gubuk itu. Lampu warna-warni telah menghiasi gubuk itu. Aku juga melihat beberapa layang-layang telah dipajang disana.

Aku melihat Gino sedang membaca bukunya. Aku terpaksa masuk karena cuaca tidak bersahabat. Dia hanya tersenyum melihatku. Dia menyuruhku duduk di sebelahnya. Gino memberikan jaketnya padaku. Aku memang terlihat mengenaskan. Sekujur tubuhku basah kuyub terkena hujan. Aku tidak begitu menggubrisnya. Aku masih sangat terpukul karena kepergian ibu.

“kau kenapa?”

Aku sedang sedih. Aku lupa minta maaf soal pertemuan pertama kita saat itu.

“tidak apa-apa. Kenapa kau menggunakan tulisan?”

Aku tidak bisa bicara.

“maaf. Kau sedih kenapa?”

Rahasia.

Rasanya tidak adil bila hanya aku yang bicara. Aku harus pergi. Apapun yang terjadi, tetaplah semangat. Aku tidak tahu kau sedih kenapa. Tapi jangan terlalu memikirkan hal yang membuatmu sedih. Karena hal itu akan sia-sia saja. Tuhan selalu ada di sampingmu. Tetap semangat! –Gino-

Dia pergi meninggalkanku yang masih menggigil kedinginan. Aku baru sadar karenanya. Aku telah salah menilai tuhan. Saat ini yang ingin kulakukan adalah memeluk ibu. Aku tidak ingin membuatnya sedih karena aku telah menyalahkan tuhan atas kepergiannya.

***
Siang yang cerah. Angin sepoi-sepoi membuatku tertarik untuk menerbangkan layanganku. Aku telah lupa akan masa lalu pahit yang menimpaku. Aku kehilangan suaraku karena kecelakaan tiga tahun lalu. Saat itu aku sedang mengejar layanganku, tapi aku melihat ayah pergi dengan wanita lain dan meninggalkan ibu yang sedang memohon padanya agar tetap tinggal. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengejar ayah sekuat yang aku bisa. Bukannya mendapatkan ayah kembali, mobil itu malah berputar balik dan menabrakku sekeras-kerasnya. Aku tidak sadarkan diri. Aku hanya melihat sekilas wajah puas wanita itu dan rasa iba ayah. Sejak saat itu aku tidak bisa bicara lagi. Kata dokter, aku tidak bisa bicara karena trauma yang mendalam. Aku juga berhenti bermain layang-layang, karena aku pikir dengan bermain layang-layang aku akan kembali teringat kenangan pahit saat itu.

“hey jangan hanya melamun, ayo kalahkan layanganku!” seru Gino

Aku tersenyum dan mulai menerbangkan layang-layangku. Saat ini Gino adalah teman terbaikku. Aku benar-benar berpikir, Gino adalah pengganti ibu. Kami berdua sama-sama menyukai keheningan. Aku tidak bisa bicara dan Gino adalah anak malang yang kesepian karena terkunci dalam dunia kemewahan. Kami sering bertemu di gubuk keheningan. Gubuk yang selalu mendamaikan perasaan kami. Gubuk lusuh itu telah menjadi bewarna karena takdir indah tuhan.

No Response to "'Gubuk Keheningan'"

Posting Komentar