--
0

Padang rumput yang selalu indah, dan basah di pagi hari. Butiran embun yang menempel di rumput berpindah ke pantatku setelah aku duduk di atasnya. Di antara kabut tebal dan anganku sendiri, berkelebat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat aku masih seorang gadis kecil dengan tinggi sekitar satu meter. Bayangan itu semakin jelas tertangkap indera penglihatku, yang sekaligus membawaku lebih jauh dari realita.


Kaki kecil itu menari, melompat, berputar dengan lincah. Tangan kecilnya pun tak henti-hentinya berusaha menangkap gerimis. Sedangkan seorang bocah laki-laki gendut yang bersamanya, hanya duduk, tertawa terpingkal-pingkal sambil sesekali berteriak memberi semangat, "Ayo tangkap, tangkap gerimisnya !".

Tommi, teman kecilku. Tapi aku lebih suka menyebutnya belahan jiwaku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Terlebih saat gerimis. Tommi selalu membawaku ke tempat ini dan menemaniku bermain gerimis meskipun orangtua kami tak pernah bosan melarang keluar rumah saat hujan. Ya, alasan wajar para orangtua karena tidak menginginkan anak mereka sakit. Tapi kami tetap bocah kecil lima tahun yang hanya mengerti tentang bersenang-senang.

Tommi paling mengerti aku, setidaknya itulah anggapanku dulu. Dia bahkan rela telinganya dijewer ibuku gara-gara membawaku kabur. Satu-satunya alasan bertahan adalah karena Tommi tau kalau aku amat suka gerimis, melebihi seluruh boneka yang kumiliki di rumah.

Tidak ada satupun yang tau tentang rahasia Tuhan. Gerimis yang tadinya sangat kucintai mendadak membuatku muak dan menjadi salah satu hal yang tak lagi ingin kusentuh. Aku sadar ini rencana Tuhan. Dia mengambil sebelah jiwaku untuk kembali ke sisiNya. Membiarkanku sendiri bersama gerimis yang kini seolah menghujam kepalaku teramat keras. Bayangan Tommi selalu muncul di balik gerimis.

Empat belas tahun berlalu. Aku kembali ke tempat ini disaat langit abu-abu. Muncul keyakinan kalau sebentar lagi akan hujan. Aku sengaja menantang hatiku untuk tidak lagi terpuruk. Aku ingin menyentuh gerimis dan bayangan Tommi untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun itu.

Gerimis menerpa wajahku ketika aku menengadah ke atas. Aku dapat merasakan Tommi masih duduk di sampingku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum meskipun dengan air mata yang bercampur gerimis. Aku ikhlas demi Tommi, juga demi seseorang yang saat ini datang dan membentangkan payung di atas kepalaku.

Terima kasih Tuhan telah mengirimkan "Tommi yang lain" di kehidupanku.
SELESAI
________________________________________

No Response to "Menari di Antara Gerimis"

Posting Komentar